Monday 18 November 2013

Penculikan Gubernur Bali Dengan Nama Sarwo Edhie

80.000 Warga Bali dibunuh secara brutal
Klaim persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pahlawan Nasional tahun 2014, sebagaimana diungkapkan mantan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu (9/11), mengundang kontroversi.

Soe Tjen Marching, warga Indonesia di London, Inggris, menggalang petisi penolakan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan dan pekan lalu sudah didukung 3.898 orang.
Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara Aidit (Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia) dan Amelia Yani, putri pahlawan nasional Jenderal TNI Ahmad Yani, mendesak pemerintah untuk setidaknya menunda rencana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Sarwo Edhie Wibowo.
Ada dua alasan permintaan setidaknya menunda pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo, kelahiran Purworejo, 25 Juli 1925 dan meninggal dunia dalam usia 64 tahun di Jakarta, 9 November 1989.
Pertama, tidak bisa dipungkiri pemberian gelar dinilai mengandung unsur nepotisme di masa pemerintahan sekarang, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan menantu Sarwo Edhie Wibowo.
Kedua, selaku Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Sarwo Edhie Wibowo, sebagai tangan kanan Presiden Soeharto, merupakan pihak paling bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal jutaan manusia tidak berdosa atas tudingan sepihak terlibat PKI di seluruh wilayah di Indonesia, 1965-1974. 

Penculikan di Jakarta
Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo tahun 2014 telah mengusik rasa keadilan bagi masyarakat yang pernah menjadi korban kriminalisasi politik, termasuk di Provinsi Bali.
Bagi Pengelingsir Puri Agung Djembrana, Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja (72), sebelum pemberian gelar pahlawan nasional bagi Sarwo Edhie Wibowo, pemerintah mesti terlebih dahulu bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap insiden pembataian massal terhadap sejumlah pihak yang pernah dicap terlibat PKI.
Salah satunya, Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, ayah kandung dari Pengelingsir Puri Djembrana, Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja. Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja, dijemput empat pria berseragam TNI AD dari kediamannya di Kompleks Senayan Nomor 261/262, Jakarta, pukul 09.00 WIB, 29 Juli 1966, dan sampai sekarang tidak pernah kembali.
“Ayah saya korban penculikan politik oleh pemerintah dalam usia 43 tahun pada tahun 1966, lantaran ia menjadi orang dekat Presiden Soekarno. Surat keputusan Kepala Pelaksana Perang Daerah (Peperalda) Tingkat I Bali, Kol (Purn) I Gusti Putu Raka, Nomor 351/1372/DPRD, tanggal 1 September 1989, ditegaskan tidak ditemukan fakta hukum yang membuktikan keterlibatan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja di dalam PKI,” kata Agung. 
 
Pembantaian di Bali
Ironisnya, semenjak penghilangan nyawa Gubernur Bali tahun 1966 di Jakarta, pemerintah tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan untuk membayar hak kepada ahli waris Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja, berupa gaji dan uang pensiun hingga sekarang.
Padahal, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja bertugas di Jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soekarno, Nomor 380 Tahun 1965, tanggal 18 Desember 1965 yang sampai sekarang belum pernah dicabut pemerintah.
Menurut Agung, sebelum pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo, Presiden Yudhoyono harus terlebih dahulu bertanggung jawab terhadap pembayaran hak gaji dan hak pensiun ayahnya, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja.
“Ayah saya ikut berjasa membubarkan Republik Indonesia Serikat di wilayah timur untuk bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayah saya sudah berjasa bagi NKRI sebelum Sarwo Edhie Wibowo menculiknya,” kata Agung, pensiunan kolonel TNI AD ini.
Pembataian PKI dimotori RPKAD di bawah kepemimpinan Sarwo Edhie Wibowo, paling parah terjadi di Provinsi Bali. Tanggal 16 Desember 1965, satu peleton RPKAD mengundang ratusan orang menonton sebuah pertunjukan kejam dan sangat mengerikan di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
I Gde Puger, salah satu donatur PKI di Provinsi Bali, diseret di tengah lapangan, dalam kondisi kaki dan tangan terikat rantai. Seorang anggota RPKAD berpakaian sipil menikamkan pisau ke perut I Gde Puger hingga usus terburai.
Dalam keadaan tidak berdaya, kepala I Gde Puger ditembak, kemudian tersungkur bersimpah darah dan tewas seketika, lalu tubuhnya dimutilasi. Setelah itu, 30 anggota PKI lainnya yang ditangkap bersama I Gde Puger, dalam kondisi pucat pasi dan dirantai tersambung satu sama lain, tidak luput dari aksi brutal RPKAD.
Ditembak Beruntun
Mereka ditarik paksa ke bagian tengah kerumunan orang dengan berdiri berjejer lalu ditembak beruntun sehingga tidak satu pun tersisa. Kekejaman RPKAD di Desa Kapal, menginspirasi masyarakat supaya bertindak lebih beringas lagi di Bali. Ada 80.000 warga Bali mati dibunuh atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk pada 1965.
Komandan RPKAD Kol (Inf) Sarwo Edhie Wibowo mengatakan, “Situasi di Bali berbeda dari situasi di Jawa Tengah. Jika di Jawa Tengah, saya sibuk mendorong rakyat agar menumpas Gestapu.”
“Di Bali, di sisi lain, rakyat sudah menggebu-gebu ingin menumpas Gestapu sampai ke akar-akarnya. Yang penting jangan sampai antusiasme itu disalahgunakan pihak-pihak tertentu sehingga menimbulkan anarki. Itu yang harus kami cegah,“ kata Sarwo Edhie membanggakan pembantaian yang pernah dilakukannya.
Sumber : Sinar Harapan ,Shnews.Co.

1 comment:

  1. Saya berdoa agar Tuhan memberikan hikmat kebijaksanaan pada Bapak Presiden SBY dalam mengambil setiap keputusan.

    ReplyDelete