Klaim persetujuan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie
Wibowo sebagai Pahlawan Nasional tahun 2014, sebagaimana diungkapkan
mantan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)
Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo di Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu
(9/11), mengundang kontroversi.
Soe Tjen Marching, warga Indonesia di
London, Inggris, menggalang petisi penolakan pengangkatan Sarwo Edhie
sebagai pahlawan dan pekan lalu sudah didukung 3.898 orang.
Ilham
Aidit, putra Dipa Nusantara Aidit (Ketua Central Committee Partai
Komunis Indonesia) dan Amelia Yani, putri pahlawan nasional Jenderal
TNI Ahmad Yani, mendesak pemerintah untuk setidaknya menunda rencana
pemberian gelar pahlawan nasional bagi Sarwo Edhie Wibowo.
Ada dua alasan permintaan setidaknya
menunda pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo,
kelahiran Purworejo, 25 Juli 1925 dan meninggal dunia dalam usia 64
tahun di Jakarta, 9 November 1989.
Pertama, tidak bisa dipungkiri
pemberian gelar dinilai mengandung unsur nepotisme di masa
pemerintahan sekarang, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
merupakan menantu Sarwo Edhie Wibowo.
Kedua, selaku Komandan Pasukan Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Sarwo Edhie Wibowo, sebagai
tangan kanan Presiden Soeharto, merupakan pihak paling bertanggung
jawab terhadap pembunuhan massal jutaan manusia tidak berdosa atas
tudingan sepihak terlibat PKI di seluruh wilayah di Indonesia,
1965-1974.
Penculikan di Jakarta
Rencana pemberian gelar pahlawan
nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo tahun 2014 telah mengusik rasa
keadilan bagi masyarakat yang pernah menjadi korban kriminalisasi
politik, termasuk di Provinsi Bali.
Bagi Pengelingsir Puri Agung Djembrana,
Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja (72), sebelum pemberian gelar
pahlawan nasional bagi Sarwo Edhie Wibowo, pemerintah mesti terlebih
dahulu bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap insiden
pembataian massal terhadap sejumlah pihak yang pernah dicap terlibat
PKI.
Salah satunya, Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, ayah
kandung dari Pengelingsir Puri Djembrana, Anak Agung Gde Agung Benny
Sutedja. Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja, dijemput empat pria
berseragam TNI AD dari kediamannya di Kompleks Senayan Nomor 261/262,
Jakarta, pukul 09.00 WIB, 29 Juli 1966, dan sampai sekarang tidak
pernah kembali.
“Ayah saya korban
penculikan politik oleh pemerintah dalam usia 43 tahun pada tahun
1966, lantaran ia menjadi orang dekat Presiden Soekarno. Surat
keputusan Kepala Pelaksana Perang Daerah (Peperalda) Tingkat I Bali,
Kol (Purn) I Gusti Putu Raka, Nomor 351/1372/DPRD, tanggal 1
September 1989, ditegaskan tidak ditemukan fakta hukum yang
membuktikan keterlibatan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja di
dalam PKI,” kata Agung.
Pembantaian di Bali
Ironisnya, semenjak penghilangan nyawa
Gubernur Bali tahun 1966 di Jakarta, pemerintah tidak memiliki
nilai-nilai kemanusiaan untuk membayar hak kepada ahli waris Gubernur
Anak Agung Bagus Sutedja, berupa gaji dan uang pensiun hingga
sekarang.
Padahal, Gubernur Bali Anak Agung Bagus
Sutedja bertugas di Jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Soekarno, Nomor 380 Tahun 1965, tanggal 18 Desember 1965 yang sampai
sekarang belum pernah dicabut pemerintah.
Menurut Agung, sebelum pemberian gelar
pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo, Presiden Yudhoyono harus
terlebih dahulu bertanggung jawab terhadap pembayaran hak gaji dan
hak pensiun ayahnya, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja.
“Ayah saya ikut
berjasa membubarkan Republik Indonesia Serikat di wilayah timur untuk
bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayah saya
sudah berjasa bagi NKRI sebelum Sarwo Edhie Wibowo menculiknya,”
kata Agung, pensiunan kolonel TNI AD ini.
Pembataian PKI dimotori RPKAD di bawah
kepemimpinan Sarwo Edhie Wibowo, paling parah terjadi di Provinsi
Bali. Tanggal 16 Desember 1965, satu peleton RPKAD mengundang ratusan
orang menonton sebuah pertunjukan kejam dan sangat mengerikan di Desa
Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
I Gde Puger, salah satu donatur PKI di
Provinsi Bali, diseret di tengah lapangan, dalam kondisi kaki dan
tangan terikat rantai. Seorang anggota RPKAD berpakaian sipil
menikamkan pisau ke perut I Gde Puger hingga usus terburai.
Dalam keadaan tidak berdaya, kepala I
Gde Puger ditembak, kemudian tersungkur bersimpah darah dan tewas
seketika, lalu tubuhnya dimutilasi. Setelah itu, 30 anggota PKI
lainnya yang ditangkap bersama I Gde Puger, dalam kondisi pucat pasi
dan dirantai tersambung satu sama lain, tidak luput dari aksi brutal
RPKAD.
Ditembak Beruntun
Mereka ditarik paksa ke bagian tengah
kerumunan orang dengan berdiri berjejer lalu ditembak beruntun
sehingga tidak satu pun tersisa. Kekejaman RPKAD di Desa Kapal,
menginspirasi masyarakat supaya bertindak lebih beringas lagi di
Bali. Ada 80.000 warga Bali mati dibunuh atau sekitar 5 persen dari
jumlah penduduk pada 1965.
Komandan RPKAD Kol (Inf) Sarwo Edhie
Wibowo mengatakan, “Situasi di Bali berbeda dari situasi di Jawa
Tengah. Jika di Jawa Tengah, saya sibuk mendorong rakyat agar
menumpas Gestapu.”
“Di Bali, di sisi
lain, rakyat sudah menggebu-gebu ingin menumpas Gestapu sampai ke
akar-akarnya. Yang penting jangan sampai antusiasme itu
disalahgunakan pihak-pihak tertentu sehingga menimbulkan anarki. Itu
yang harus kami cegah,“ kata Sarwo Edhie membanggakan pembantaian
yang pernah dilakukannya.
Sumber : Sinar Harapan ,Shnews.Co.
Saya berdoa agar Tuhan memberikan hikmat kebijaksanaan pada Bapak Presiden SBY dalam mengambil setiap keputusan.
ReplyDelete