Oleh: Bambang Noorsena, SH, MA
Catatan Pengantar
Fenomena sukses film “Ayat-ayat Cinta”,
arahan Hanung Brahmantyo ini adalah menarik untuk dicermati. Film layar
lebar yang diangkat dari novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini [1]
dalam waktu singkat telah berhasil meraup pemirsa lebih dari 3 juta
orang di seluruh tanah air. Ada yang menonton karena memang lebih dahulu
sudah menbaca novelnya, ada pula yang hanya “sekedar ingin tahu”,
karena penyambutan film ini yang cukup luas. Bukan hanya Dr. Din
Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, akan tetapi juga melibatkan Presiden
SBY, Wakil Presiden Jusuf Kala, yang memberikan sambutan antusias.
Ada yang memuji, ada pula yang menanggapi
biasa-biasa saja. Ada apa di balik novel dan film ini? Beberapa orang
berkomentar, “ini iklan poligami”, “referensi baru buat pemilik rumah
makan Wong Solo”, tetapi ada pula yang serius mencermati kaitan film dan
novel ini dengan hubungan Kristen-Islam di Mesir. Artikel singkat ini,
mungkin tergolong yang terakhir, kebetulan tokoh Maria Girgis, yang
digambarkan berasal dari keluarga Kristen Koptik, Gereja pribumi di
Mesir, sebagai Gereja Ortodoks terbesar di dunia Arab. Sebagai seorang
pengamat Gereja-gereja Timur, kenyataannya saya menemukan beberapa
kejanggalan mengenai tradisi Kristen Koptik, yang digambarkan “secara
sambil lari” dalam film ini.
Sekilas Filim Ayat-ayat Cinta
Sebelum memberi beberapa catatan terhadap
novel dan film ini, bagi yang tidak membaca novel atau menonton film
ini, akan disarikan cerita yang diangkat oleh novelis muda lulusan
Universitas Al-Azhar, Cairo, ini:
Dikisahkan, Maria Girgis (Carissa Putri),
putri Tuan Butros dan Maddame Nafed [2] bertetangga flat (apartemen)
dengan Fahri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas al-Azhar.
Maria, terlahir dari keluarga Kristen Koptik, digambarkan mengagumi
Al-Qur’an, karena ayat-ayatnya yang dilantunkan indah, bersimpati pada
Fahri. Simpati yang akhirnya berubah menjadi cinta. Sayang sekali, Maria
tidak pernah mengutarakan perasaan hatinya. Ia hanya menuangkannya
dalam diary saja.
Selain Maria, ada juga Nurul (diperankan
Melanie Putri), mahasiswi asal Indonesia, anak seorang kyai yang cukup
kesohor, yang juga menimba ilmu di Al-Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh
hati kepadanya, tetapi sayang rasa cinta itu dihalangi oleh perasaan
mindernya, karena Fahri hanya anak seorang petani. Cinta yang akhirnya
tak terucapkan. Ada juga tetangga yang selalu disiksa “ayahnya”, dan
Fahri ingin menolongnya, tetapi justru itulah yang menjadi awal bencana
baginya. Fahri harus beberapa saat mendekam di penjara, karena tuduhan
fitnah telah memperkosanya. Saat badai fitnah menimpa, saat itu Fahri
sudah menikah dengan Aisha, gadis Turki yang menjadi warga Negara
Jerman. Pendekatan diplomatik Indonesia buntu, gagal membebaskan Fahri.
Tetapi berkat kewarganegaraan Jerman yang
dimiliki Aisha, pengadilan Mesir melunak. Fahri bebas, setelah
dibuktikan bahwa tuduhan itu fitnah belaka. Sebenarnya Fahri hanya
difitnah, kesaksian Noura palsu karena dinyatakan di bawah tekanan
Bahadur, “ayah”nya. Padahal Bahadur, yang ternyata bukan ayah
kandungnya, justru dialah yang memerkosanya, dan ingin menjualnya
menjadi seorang pelacur. Sementara itu, Maria sedang sakit, karena
tekanan batin yang dideritanya karena Fahri telah menemukan “sungai
Nil”-nya, dan dia ternyata bukan dirinya. Tetapi berkat kegigihan Aisha,
istri Fahri, Maria berhasil dihadirkan ke pengadilan. Kedatangannya
menolong Fahri, karena ia menjadi saksi ketika Fahri dan Nurul
menyembunyikan Noura di rumah Nurul, demi menyelamatkan Noura dari
amukan Bahadur.
Justru Aisha sendiri, yang ketika Maria
terbaring sakit, membaca diary-nya. Ternyata Maria memendam rindu kepada
Fahri, cinta yang dibawanya sampai ia terbaring sakit. Aisha terharu.
Ia akhirnya bersedia “membagi cinta” dengan Maria. Suaminya justru
disuruh mengawini Maria, karena itulah satu-satunya obat bagi
kesembuhannya. Fahri dan Maria pun kawin atas restunya. Madamme Girgis,
ibu Maria, sangat berterima kasih dengan pengorbanan Aisha. Madamme
Girgis memeluk erat Aisha, ketika wanita keturunan Turki itu menghindar
dari akad nikah yang sedang diselenggarakan antara Fahri dan Maria yang
sedang berbaring sakit, karena tidak bisa menahan gejolak jiwanya.
Beberapa menit terakhir film ini diisi dengan adegan kebersamaan antara
Fahri dengan kedua istrinya. Ada cemburu antara kedua istri Fahri,
tetapi keduanya berusaha keras “menjaga hati”. Sementara Fahri
mempergumulkan makna keadilan bagi kedua istrinya. Aisha sedang hamil
tua dan menunggu kelahiran bayinya, sementara Maria kembali jatuh sakit.
“Ajarilah aku shalat”, ucap Maria kepada Fahri, “karena aku ingin
shalat bersama kalian”. Fahri dan Aisha terkejut luar biasa. Dan dalam
keadaan terbaring Maria shalat bersama Fahri dan Aisha, dan gadis
Kristen Koptik itu mengehembuskan nafas terakhirnya sebagai seorang
muslimah.
Tradisi Kristen Koptik di Mesir – Selayang Pandang
Gereja Ortodoks Koptik adalah gereja
pribumi Mesir. Gereja ini lahir sejak awal sejarah Kekristenan, diawali
dari kedatangan Rasul Markus, murid Rasul Petrus sekaligus
penerjemahnya, yang juga dikenal sebagai penulis Injil Markus [3].
Markus mati syahid di Alexandria tahun 54 M, dan sejak saat itu
Kekristenan berkembang pesat di “Negeri Firaun” itu.
Berbeda dengan gereja-gereja di wilayah
Arab utara, khususnya Gereja Ortodoks Syria, yang sejak sebelum zaman
Islam sudah menggunakan bahasa Arab, terbukti dari temuan-temua prasasti
pra-Islam di wilayah Syria (Inskripsi Zabad tahun 512 M, Inskripsi
Ummul Jimmal para abad VI M, dan inskripsi Hurran al-Lajja tahun 568 M),
Gereja Koptik mula-mula memakai bahasa Koptik. Tetapi setelah
kedatangan Islam, Gereja Koptik di Mesir mulai memakai bahasa Arab,
berdampingan dengan bahasa Koptik. Bahasa Koptik adalah bahasa zaman
Firaun yang aksara-aksaranya diperbarui dengan meminjam aksara Yunani.
Perlu dicatat pula, di seluruh gereja
Timur, termasuk Gereja Ortodoks Koptik, masih dilestarikan tata-cara
ibadah dalam penghayatan budaya Kristen mula-mula. Misalnya: Shalat
Tujuh Waktu (Sab’ush shalawat) [4], Shaum al-Kabir (Puasa Besar)
pra-Paskah, selama minimal 40 hari [5], membaca Injil dengan cara
dilantunkan secara tartil (dikenal dengan Mulahan Injil-yang paralel
dengan Tilawat al-Qur’an, dan masih banyak lagi. Anda bisa menyaksikan
seorang pemuda yang komat-kamit membaca Kitab di tangannya sewaktu naik
bus, atau kendaraan lain di Mesir. Siapakah mereka? Ternyata bukan hanya
pemuda Islam yang membaca al-Qur’an, tetapi juga pemuda-pemuda Koptik
dengan tatto Salib di tangan [6] sedang membaca kitab Agabea. Itulah
Kitab Shalat Tujuh waktu, yang tidak pernah mereka alpakan, juga ketika
mereka sedang berkendara di jalan, sepulang kantor, atau berangkat ke
kampus.
Informasi terakhir, meskipun orang Muslim
atau orang Kristen di Mesir sama-sama berbahasa Arab, tetapi antara
keduanya tetap bisa dibedakan. Idiom-idiom keagamaan mereka berbeda,
tetapi juga tidak jarang pula sama atau paralel. Di koran-koran
berbahasa Arab, ucapan bela sungkawa orang Kristen biasanya diawali
ungkapan: Intiqala ila Amjadis samawat (Telah berpulang kepada Kemuliaan
Surgawi), cukup mudah dibedakan dengan kaum Muslim: Inna Iillahi wa
Inna Ilayhi Rajiun (Sesungguhnya semua karena Allah dan kepada-Nya pula
semua akan kembali). Tapi ada banyak persamaan tradisi, misalnya:
pertunangan, perkawinan, kematian, dan masih banyak lagi.
Resensi atas Novel dan Film “Ayat-ayat Cinta”
Kalau tidak berpretensi bisa atau mampu
dalam meresensi sebuah novel apalagi sebuah film. Saya hanya ingin
memberi beberapa catatan atas beberapa tradisi Mesir pada umumnya, dan
tradisi Kristen Koptik di Mesir khususnya, yang kadang-kadang kurang
tepat disampaikan dalam film ini:
4.1. Adat-Istiadat, Bahasa dan Budaya
Beberapa tokoh dalam film ini gagal
memerankan tokoh orang Mesir. Madamme Nafed (Marini), mamanya Maria,
kala mengucapkan kata: “bisyur’ah” (cepat!), tampak kurang ekspresif.
Alangkah lebih “Egypt” nuansanya, bila ia berkata dengan penekanan:
“Yala, yala, bisyur’ah, Ya Maria!”, misalnya. Begitu juga, sebagai sosok
gadis Mesir, Maria yang diperankan Carissa Putri, rasanya terlalu calm
dan “melankolis”. Ketika ia mengucapkan “Afwan” (terima kasih kembali),
menjawab kata-kata Fahri ketika menerima kiriman juice mangga yang
dikirim Maria melalui tariakan keranjang kecil dari jendela kamarnya:
“Musyakirin awiala ashir Manggo” (Terima kasih banyak atas juice mangga)
[7]. Lebih ekspresif, seandainya Maria mengatakan: “Afwan Ya Habibi!”.
Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang
digambarkan dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (suatu bunyi
siulan ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan
mereka). Yang juga tidak kalah penting untuk dicermati, dialek Arab
tokoh Maria ketika bertanya: Qamus ‘Arabi?, diucapkan dalam dialek
terlalu “Saudi Arabia”: Qomus Arabi? Saya kira ini salah satu kekhasan
mahasiswa Islam asal Indonesia, karena ketika belajar bahasa Arab di
pesantren, lebih mirip dialek Saudi Arabia yang memang lebih “fushah”
(klasik). Tetapi tidak demikian dengan dialek Mesir, mereka tidak
mengucapkan: Subhro, Mubarok, Rohmat, melainkan: Subhra, Mubarak,
Rahmat, dan sebagainya.
Begitu juga, ungkapan salah seorang Mesir
ketika melerai pertengkaran: “Khalash! Khalash!” (sudah, sudah!), lebih
“Mesir” lagi kalau diucapkan: “Khalash, khalash ba’ah!”. Begitu juga,
biasanya seorang Mesir mengucapkan kara “La, la, la” (tidak, tidak,
tidak!), sambil dengan jari telunjuk bergerak-gerak, dan bibir berdecak.
Ucapan “ahlan”, biasanya diucapkan berkali-kali: “Ahlan, ahlan, ahlan…”
Yang lebih mengganjal lagi, dalam salah satu percakapan, seorang tokoh
mengucapkan dialek Mesir bercampur dengan bahasa Arab klasik: Asyan Ana
bahibaki awi (Karena saya sangat mencintaimu), mestinya: Asyan Ana
bahibik awi. Asyan adalah ucapan cepat dari alashan, sedangkan Ana
Bahibak, Ana bahibik, dalam bentuk klasiknya: Ana uhibuka, Ana uhibuki.
Lokasi syuting yang memang tidak dibuat
di Mesir, membuat pemirsa tidak bisa secara utuh mengikuti dan
membayangkan “suasana Mesir”. Mulai rumah-rumah warga kelas menengah ke
atas, lengkap dengan mashrabiya-nya [8], jalan-jalan kota lama Cairo
yang macet, tidak terkecuali Midan Tahrir dengan warung-warung Asher
(juice) segarnya.. Malahan dalam suatu pesta perkawinan yang digambarkan
dalam film tersebut, tidak ada bunyi jagreed (suatu bunyi siulan
ibu-ibu yang menandai penyambutan acara-acara kegembiraan mereka). Masih
banyak adat kebiasaan lain, yang dalam film ini tidak berhasil
ditonjolkan dengan baik, sehingga ber-”suasana Indonesia dan India”,
ketimbang ber-”suasana Mesir”, dan negara-negara Arab di Timur Tengah
pada umumnya.
4.2. Tradisi Kristen Koptik
Ada kesan kuat saya, bahwa penulis novel
ini, sekalipun lama tinggal di Mesir, tidak mengetahui budaya dan
tradisi Kristen Koptik. Misalnya, penggambaran Maria yang tertarik
dengan Al-Qur’an karena ayat-ayatnya di-”tilawat”-kan dengan indah.
Padahal tradisi untuk membaca Kitab Suci dengan tartil bukan hanya
tradisi Islam, melainkan tradisi Timur Tengah (baik Yahudi maupun
Kristen Timur) jauh sebelum lahirnya Islam. Sampai hari ini,
gereja-gereja Timur (baik Gereja-gereja Ortodoks maupun Katolik ritus
Timur) membaca Kitab Suci yang tidak jauh berbeda.
Simbol salib hanya ditonjolkan untuk
mengisi latar belakang Koptik keluarga Maria, tetapi tradisi Koptik sama
sekali tidak dipahaminya. Misalnya; Madamme Girgis digambarkan berdoa
dengan melihat kedua tangan, padahal orang-orang Kristen di Timur Tengah
berdoa dengan cara menengadahkan tangan, sama dengan Islam.
Bedanya, dalam Islam diawali dengan
rumusan Basmalah: Bismillahi rahmani rahim (Dengan Nama Allah Yang
Pengasih dan Penyayang), sedangkan dalam Kristen dengan membuat tanda
salib dan berkata: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus al-Ilahu Wahid,
Amin (Dengan Nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Yang Maha Esa, Amin).
Masih ada hal yang sangat menganggu,
yaitu tattoo Salib di tangan Maria terbalik, dan terlalu besar
ukurannya. Dan terakhir, permintaan Maria kepada Fahri ketika ia
terbaring sakit: “Ajarilah aku shalat!”, mestinya lebih baik diperjelas:
“Ajarilah aku shalat secara Islam!”.
Mengapa? Sebab kata “shalat” saja, di
Mesir dan di negara-negara Arab yang di dalamnya umat Islam dan Kristen
hidup bersama-sama, bukan merupakan terma eksklusif Islami. Jadi berbeda
dengan negara-negara Muslim non-Arab.
Orang-orang Kristen Koptik juga mengenal
waktu-waktu shalat yang tujuh kali sehari. Waktunya sama dengan shalat
Islam, ditambah dengan “shalat jam ketiga” (kira-kira jam 09.00 pagi,
untuk memperingati turunnya Roh Kudus, Kis. 2:15), dan jam 24.00 tengah
malam, yang dikenal dengan, shalat Nishfu Lail (tengah-malam). Lima
waktu shalat selebihnya untuk mengenal Thariq al-Afam (Via Dolorosa)
atau jam-jam sengsara Kristus.
Lebih jelasnya, kala shalat, jauh sebelum
zaman Islam kata ini sudah dipakai dalam bentuk Aram tselota.
Menariknya, waktu-waktunya memang sama dengan Islam (Subuh, Dhuhr,
Asyar, Maghrib dan Isya), dan dua sisanya sejajar dengan salat sunnah
Dhuha dan Tahajjud. Meskipun demikian, istilah, untuk waktu-waktu salat
tersebut berbeda, dan waktu-waktu doa ini mempunyai makna teologis
terkait dengan jam-jam sengsara Yesus Kristus (Thariq al-Afam) sebagai
berikut:
1. “Salat jam pertama”
(Shalat as Saat al-Awwal), kira-kira jam 06.00 pagi waktu kita, untuk
mengenang saat kebangkitan Kristus Isa Al-Masih) dari antara orang mati
(Markus16:2).
2. “Salat jam ketiga”
(Shalat as-Sa’at ats-Tsalitsah), kira-kira jam 9 pagi, yaitu waktu
pengadilan Kristus dan turunnya Roh Kudus (Markus 15:25; Kisah 2:15).
3. “Salat jam keenam” (Shalat as-Sa’at as-Sadi-sah), kira-kira jam 12 siang, yaitu waktu penyaliban Kristus (Markus 15:33, Kisah 3:30).
4. “Salat jam kesembilan” (Shalat as-Saat at Tasiah), kira-kira jam 3 petang, untuk mengenang kematian Kristus (Markus 15:33,38; Kisah 3:1);
5. “Salat Terbenamnya Matahari” (Shalat al-Ghurub), yaitu waktu penguburan jasad Kristus (Markus15:42).
6. “Salat waktu tidur” (Shalat ai-Naum), untuk mengenang terbaringnya tubuh Kristus; dan
7. “Salat Tengah Malam”
(Shalat as-Satar atau Shalat Nishfu al-Layl) adalah jam berjaga-jaga
akan kedatangan Kristus (Isa Al-Masih) yang kedua kalinya (Wahyu
3:3)[9].
Salat Tujuh waktu
(As-Sab’u Shalawat) ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam.
Mengapa? Karena praktek doa ini, khususnya seperti yang dipelihara di
biara-biara, sudah ada jauh sebelum zaman Islam. “Kanonisasi
(waktu-waktu) salat” (Shalat al-Fardhiyah), sudah mulai dilakukan dalam
sebuah dokumen gereja kuno berjudul Al-Dasquliyyat atau Ta’alim ar-Rusul
yang editing terdininya dikerjakan oleh St.Hypolitus pada tahun 215 M.
[10]
5. Novel Religi, Film Dakwah: Bukan Film Cinta Biasa
Seperti komentar banyak tokoh dalam novel
“Ayat-ayat Cinta”, memang hasil karya Habiburrahman el-Shirazy ini
bukan sekedar novel cinta biasa, melainkan novel cinta, religi, figh,
politik yang sarat dengan pesan-pesan keagamaan. Novel ini ingin
menghadirkan Islam secara damai, multi-kultural, sarat sentuhan nilai
cinta kasih, dan jauh dari gambaran kekerasan yang selama ini sering
di-stigmakan oleh orang Barat.
Meskipun demikian, novel ini juga sarat
terhadap apologetika untuk membela Islam. Semangat dakwah yang
berkobar-kobar perlu diacungi jempol, tetapi terkadang “kelewat batas”.
Misalnya, dalam Bab 33: “Nyanyian dari Surga” (tetapi bagian ini
untungnya tidak divisualisasikan dalam film), Maria bertemu dengan Bunda
Maria, Ibunda Isa Al-Masih dalam mimpinya ketika terbaring sakit. Di
Bab Ar-Rahmah (pintu Rahmat), Bunda Kristus itu, menampakkan diri begitu
anggun dan luar biasa. “Dia (Allah) mendengar haru biru tangismu”, kata
Bunda Maria, “Apa maumu?”. “Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”, tanya
Maria sambil menangis.
“Boleh”, jawab Bunda Maria. “Memang surga
diperuntukkan untuk semua hamba-Nya. Tapi kau harus tahu kuncinya”.
“Apa kuncinya?”, tanya Maria. “Nabi pilihan Muhammad Saw telah
mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?”, tegas
Bunda Maria. “Aku tidak mengikuti ajarannya”, kata Maria. “Itu
salahmu!”, kata Bunda Maria lagi. Lalu dijelaskan bahwa jalan ke surga
itu harus lewat Islam.
“Maria, dengarlah baik-baik!”, kata Bunda
Kristus kepadanya. “Nabi Muhammad sudah mengajarkan kunci untuk masuk
surga, “Barangsiapa berwudhu dengan baik lalu mengucapkan: Asyhadu an La
ilaha illallah wa asyhadu anna Muhamadan abduhu wa rasuluh (Saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah Hamba-Nya dan Rasul-Nya), maka akan dibukakan delapan
pintu surga untuknya dan ia boleh masuk yang mana ia suka.” Maria
akhirnya masuk Islam, mengucapkan syahadat dan melaksanakan shalat
sebelum ajal menjemputnya. Inilah “ending” novel dakwah ini.
6. Catatan Reflektif
Catatan reflektif saya, untuk mengakhiri
artikel singkat ini, sedikit saja. Setiap orang bebas untuk menyatakan
keyakinannya. Termasuk keyakinan bahwa surga itu hanya “hak orang-orang
Muslim”. Kalau anda tertarik dengan tawaran ini, silakan saja. Bebas dan
tidak ada yang melarang. Tetapi pernahkah anda berpikir, apakah orang
lain yang berkeyakinan berbeda bebas juga mengutarakan keyakinannya?
Seperti keyakinan bahwa Bunda Maria, tokoh paling suci dalam Kekristenan
setelah Yesus Kristus, telah menunjuk bahwa jalan ke surga harus
melalui Muhammad.
Bolehkah orang Kristiani, yang
mempercayai bahwa Yesus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, dan tidak
seorangpun yang sampai kepada Bapa kecuali melalui Kristus (Yohanes
14:6), meminjam “lisan Nabi Muhammad” untuk mengajar keyakinan itu?
Moga-moga anda membolehkannya, seperti kami tidak mendemo ketika
“Ayat-ayat Cinta” meminjam “mulut suci Bunda Maria” untuk dakwah agama
Islam.
Kalau begini, mengapa harus marah kepada
Ahmadiyah? Sebaliknya, mengapa harus mengelu-elukan “Injil Yudas”, dan
“The Da Vinci Code”, tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain yang
tidak menyetujuinya? Katakanlah, “berjuta-juta orang Kristen yang
tersakiti perasaannya” karena publikasi novel dan film itu?”
Padahal film ini akan lebih mendidik
lagi, kalau misalnya diungkap juga fakta keberdampingan harmonis
kehidupan umat Kristen dan umat Islam di negeri yang oleh Ibnu Khaldun
dijuluki “lbunda Dunia” ini. Misalnya, tenda-tenda Maidah ar-Rahman
(Jamuan Sang Pengasih), yaitu jamuan makan gratis yang dibuka di
jaan-jalan kota Kairo, yang di beberapa wilayah Koptik, seperti Subhra,
misalnya, selalu dibuka oleh uskup Gereja Ortodoks Koptik sebagai simbol
persatuan nasianal (Wihdat al- Wathani).
Begitu juga, kehadiran Syeikh Al-Azhar,
Dr. Muhammad Tanthawi, pada acara Idul Milad (Natal) di Katedral
Al-Qidis Marqus, Abbasiya. Tradisi saling mengucapkan selamat hari raya,
baik hari-hari raya Islam maupun hari-hari raya Kristen, juga menjadi
kebiasaan yang patut dijadikan referensi di negara-negara mayoritas
Muslim non-Arab, seperti Afganistan, Pakistan, dan Indonesia akhir-akhir
ini, yang terkadang “lebih Arab ketimbang negara-negara Arab sendiri”
[11].
Dan akhirnya, berbarengan dengan perasaan
sedih dan menyayangkan peredaran film “The Fitna”, saya yang terus
menerus mencoba memahami sukacita anda menyambut film “ayat-ayat Cinta”,
izinkanlah saya mengucapkan: Mabruk, (Selamat!) atas prestasi dan
sukses film ini. Ini bukan basa-basi. Karena sekalipun ada yang tidak
saya setujui isinya, tapi hati saya turut merasakan gembira bila anda
bergembira.
*) Bambang Noorsena adalah pendiri
Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), alumnus Kajian
Perbandingan Agama pada Dar Comboni Institute, Cairo, Mesir.
Lampiran dan Catatan Kaki :
7. Lampiran Novel Ayat-ayat Cinta Hal. 400 – HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Yang kuhafal, adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Quran. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan.
“Selesai membaca surat Maryam aku
lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti
karenaa Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa
anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata, “Aku Maryam”. Yang
baru saja kausebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca. Aku diutus oleh
Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa maumu? Aku
ingin masuk surga. Bolehkah? “Boleh”. Surga memang diperuntukkan bagi
semua hambaNya: Tapi kau harus tahu kuncinya?’ Apa itu kuncinya?
‘Nabi pilihan Muhammad Saw. telah
mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau tidak mengetahuinya?’ Aku
tidak mengikuti ajarannya.’ Itulah salahmu.’
Kau tidak akan mendapatkan kunci itu
selama kau tidak mau tunduk penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang
paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang untuk memberitahukan
kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah menjaga jarak dengan
Muhammad Saw, maka aku tidak diperkenankan untuk memberitahukan padamu.
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan
hendak pergi. Aku langsung menubruknya dan bersimpuh di kakinya. Aku
menangis tersedu-sedu. Memohon agar diberitahu kunci surga itu. Aku
hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk surga hidup bersama
orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja, asal masuk
surga. Bunda Maryam, tolonglah aku. Berilah aku kunci itu! Aku tidak mau
pergi selama-lamanya. Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama
Allah.
———————————
[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta: Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika.2006).
[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat populer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam
[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. Lihat juga: A. Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen: Kok Pharos Publishing House, 1995), him. 126.
[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab’u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah,2001).
[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO’ A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba’ah,2001).
[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).
[7] Kata “musyakirin awi ala …” (Terima kasih banyak atas…) adalah dialek khas Mesir, kata “awi” asalnya dari: “qawwi” (besar), dalam bahasa Arab klasik: “Syukran ‘ala… ” (terima kasih atas…), atau “Alfu syukran ‘ala …” (beribu terima kasih atas…)
[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.
[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.). Demikialah catatan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap Gereja: Orthodoks Koptik: “These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer…” (hlm. 128).
Mengenai Gereja Orthodoks Syria, “…keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the ‘protection prayer’ (Suttara) before retiring” (hlm. 124). Sedangkan Gereja Maronit di Lebanon: “Seven in number., they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline” (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mar Ignatius Afram al-Awwal Borshaum (ed.), Al-Tuhfat al-Ruhiyyahi fi ash-Shalat al-Fardhiyyah (Aleppo. Suriah: Dar al-Raha Ii an-Nasyr. 1990).
[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta’alim arï Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), Bab: Auqat Shalawat (Waktu-waktu Salat), hlm. 171-172.
[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, di Surabaya Post, 20 Agustus 2004.
[1] Habiburrahman EI Shirazy, Ayat-ayat Cinta: Sebuah Novel Pembangun Jiwa. Edisi Revisi (Jakarta: Basmala dan Harian Republika.2006).
[2] Nama Girgis (arabisasi dari nama George, seorang santo atau al-qidis, yang sangat populer di Gereja-gereja orthodoks), Butros (arabisasi dari Petrus) dan nama-nama dalam bahasa Yunani, Ibrani atau Koptik, orang-orang Kristen Arab bisa juga memakai nama-nama Arab sebelum dan sesudah Islam. Biasanya, nama-nama Kristen Arab misalnya: Abdul Masih (Hamba Kristus), Abdul Fadi (Hamba Sang Penebus), cukup mudah dibedakan dengan nama-nama Arab Muslim: Abdul Aziz, Ramadhan, Mahmud, Ahmad, Ashraf dan sebagainya. Tetapi nama-nama seperti Abdullah (Hamba Allah), Ibrahim, Ishak, Mukmin, dan masih banyak lagi, adalah nama-nama netral yang dipakai baik orang Kristen maupun Islam
[3] Irish Habib al-Masri, Qishah Al-Kanisah al-Qibthiyyah. Jilid I (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), hlm. 20-33. Lihat juga: A. Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen: Kok Pharos Publishing House, 1995), him. 126.
[4] 4Lihat panduan Shalat dalam Gereja Orthodoks Koptik: A/-Ajabiyya: As-Sab’u Sha/awot An-Nahtriyyah wa Lailiyyat (Cairo: Maktabah al-Mahabbah,2001).
[5] 5AI-Qush Yoanis Kamal, Tartib UshbO’ A/-A/om (Oar al-Jilli ath-Thaba’ah,2001).
[6] Munculnya tradisi tattoo salib di tangan, pertama kali berasal dari masa penganiayaan. Tanda itu menjadi semacam kode sesama umat Kristen demi keselamatan mereka dari para penganiaya mereka. Karena Gereja Koptik Mesir pada zaman Romawi menjadi gereja yang teraniaya, maka tarikh Koptik yang ditandai dengan peredaran bintang Siriuz, disebut dengan Tahun Kesyahidan (Anno Martyri), yang tidak termasuk tahun syamsiah (matahari) ataupun qamariyah (bulan), tetapi disebut tahun kawakibiyah (tahun bintang).
[7] Kata “musyakirin awi ala …” (Terima kasih banyak atas…) adalah dialek khas Mesir, kata “awi” asalnya dari: “qawwi” (besar), dalam bahasa Arab klasik: “Syukran ‘ala… ” (terima kasih atas…), atau “Alfu syukran ‘ala …” (beribu terima kasih atas…)
[8] Mashrabia adalah jendela kecil yang terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran halus, biasanya digunakan oleh anak-anak gadis orang kaya untuk mengintip keluar tetapi orang tidak bisa melihat ke dalam.
[9] Fakta bahwa seluruh gereja-gereja di Timur, baik Ortodoks maupun Katolik ritus Timur. melaksanakan salat tujuh waktu baik sebelum maupun sesudah Islam dengan jelas dicatat Aziz S. Atiya, History of Eastern Christianity (Nostre Dome. Indiana: University of Nostre Dame Press, Lt.). Demikialah catatan Aziz S. Atiya mengenai pelestarian ibadah ini pada tiap-tiap Gereja: Orthodoks Koptik: “These seven hours consisted of the Morning prayer, Terce, Sext, None, Vespers, Compline and the Midnight prayer…” (hlm. 128).
Mengenai Gereja Orthodoks Syria, “…keep usual hours from Matins to Compline, with they describe as the ‘protection prayer’ (Suttara) before retiring” (hlm. 124). Sedangkan Gereja Maronit di Lebanon: “Seven in number., they are the Night Office, Matins, Third, Sixth and Nine Hours, Verpers and Compline” (hlm. 414). Lebih lanjut. mengenai Shalat Tujuh Waktu ini dalam bahasa Arab. lihat: Mar Ignatius Afram al-Awwal Borshaum (ed.), Al-Tuhfat al-Ruhiyyahi fi ash-Shalat al-Fardhiyyah (Aleppo. Suriah: Dar al-Raha Ii an-Nasyr. 1990).
[10] Marqus Dawud (ed.), Al-Dasquliyyah, ar Ta’alim arï Rusul (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 2003), Bab: Auqat Shalawat (Waktu-waktu Salat), hlm. 171-172.
[11] Lih. Artikel saya: Bambang Noorsena, “Ramadhan di Cairo”, di Surabaya Post, 20 Agustus 2004.
Artikel Ini Saya sadur dari [ http://bambangnoorsenacenter.wordpress.com/ ]
No comments:
Post a Comment